Minggu, 06 Februari 2011

Seputar Seni Baca al-Qur'an

Suatu ketika ada orang bertanya, ”Untuk apa membaca al-Quran kalau tidak memahami artinya?” Pertanyaan ini menyiratkan problem umum kaum muslim di negara-negara yang tidak berbahasa Arab. Terkadang pertanyaan tersebut dilontarkan oleh orang yang kemudian meninggalkan sama sekali membaca     al-Quran. Tetapi ada juga yang setelah bertanya begitu, dia menjadi terdorong untuk belajar memahami bahasa al-Quran. Terlepas dari itu, betulkah membaca al-Quran tanpa memahami maknanya itu tidak berguna?

Dalam Islam ada ajaran bahwa membaca al-Quran merupakan ibadah. Mengerti atau tidak, pembacanya tetap akan mendapatkan pahala, bahkan biarpun ia membacanya dengan susah payah dan banyak salah, tetap ada pahalanya. Dan pahala membaca al-Quran bukan dihitung per ayat, melainkan  per huruf. Ini adalah kegunaan pertama membaca al-Quran, yakni mendapatkan pahala.

Tapi bukan itu yang dimaksud. Kita kaitkan pertanyaan di atas dengan fungsi seni. Apakah fungsi seni? Setidaknya ada dua jawaban besar: menghibur dan mengajarkan sesuatu. Horace, penyair Yunani kuno, menyebutnya dulce (indah) dan utile (berguna). Dua fungsi ini paling mudah dilihat dalam karya sastra. Pada karya sastra yang baik, ia terasa indah sekaligus memberikan pencerahan atau wawasan tertentu bagi pembacanya. Pada karya seni jenis lain, seperti musik, lukis, dan tari, fungsi kedua mungkin agak tertutupi oleh yang pertama. Namun pandangan tradisional biasanya selalu berupaya mencari makna di balik setiap nada, gerak, garis, dan warna.
Apakah al-Quran merupakan karya seni?
Pertama dan terutama, al-Quran tentulah kitab suci atau buku petunjuk bagi orang-orang yang mengimaninya. Sebagai buku petunjuk, al-Quran mengajarkan sesuatu, antara lain nilai-nilai moral, hukum kemasyarakatan, wawasan sejarah, hingga ramalan masa depan. Namun al-Quran adalah kitab suci yang sangat nyeni (artistik) dan indah (estetis). Unsur seni dalam al-Quran setidaknya terasa pada dua hal: gaya bahasa (seni sastra) dan rima atau persajakan (seni musik).
Orang yang tidak mengerti bahasa Arab tidak akan mampu memahami dan mencapai keindahan dari gaya sastra al-Quran. Tapi rima atau pengulangan bunyi akhir adalah soal lain. Kata-kata dalam aksara Arab terdiri dari suku kata-suku kata yang mesti dibaca dengan tempo tertentu, ada yang pendek ada yang panjang. Ini saja sudah menimbulkan irama tersendiri. Ditambah dengan penataan rimanya yang sangat apik, menjadi sempurnalah unsur musikal pada ayat-ayat al-Quran.

Pada aspek inilah orang yang tidak paham bahasa Arab masih bisa mendapatkan sesuatu dari membaca al-Quran, yakni keindahan. Memang dia tidak mengerti artinya, tapi rasanya nikmat, syahdu, menggetarkan, sekaligus melembutkan jiwa. Dan karena al-Quran merupakan wahyu Tuhan, terasa ada yang gaib di sana, sesuatu yang religius dan spiritual.
Al-Quran bukanlah karya seni modern dan mungkin bukan karya seni. Tapi kita bisa mendekatinya sebagaimana kita mengapresiasi karya seni modern. Al-Quran, sepanjang ia dibaca secara tartil (sesuai tajwid), pembacanya akan merasakan aura keindahan menyelimuti dan merasuk ke dalam dirinya. Jika suaranya tidak buruk, atau malah tergolong merdu, maka orang di sekelilingnya yang mendengar pembacaan itu akan merasakan pula keindahannya.

Keindahan al-Quran akan lebih menjadi-jadi manakala ia dibaca dengan teknik tertentu yang disebut dengan qiraat atau seni membaca al-Quran. Terlebih jika qari-nya memiliki suara yang merdu. Membaca al-Quran sebagai seni berarti membaca al-Quran dengan maksud untuk menikmati keindahan rimanya. Membaca al-Quran sebagai seni tidak menuntut pemahaman, siapapun asalkan menguasai cara membaca aksara Arab, bisa mengakses keindahan musikal dari al-Quran.

Mencintai al-Quran, mempelajari, dan mengamalkan ajarannya, insya Allah bisa dimulai dan dipupuk dengan cara ini: membacanya sebagai seni.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar